Mandala Sunyi

Lelaki berambut ikal itu berjalan sambil menenteng buku. Matanya tajam seolah memperhatikan apa pun yang ada di sekitarnya. Ia duduk di salah satu bangku yang ada di pinggiran lapangan basket. Siang itu terik. Angin pun rasanya tak banyak berembus. Ia masih saja membolak-balik halaman buku itu sambil sesekali terlihat simpul senyum di wajahnya.

Tak terasa matahari telah bergeser, tempatnya duduk yang ternaungi pohon kini mulai terasa tak nyaman. Panas matahari siang memang menyakitkan. Lelaki itu pun beranjak, menuju kelas yang tak jauh dari tempatnya duduk saat ini.

Ujian telah usai, para murid kelas 3 SMA sepertinya tak ada lagi pelajaran. Sisa hari-hari terakhir di SMA yang bagi banyak remaja begitu dikultuskan, baginya, tak ubahnya hari-hari biasa. Bak narapidana terjebak rutinitas penjara.

photo by RNA

Ruang kelas menyisakan beberapa orang siswa, ada yang bercengkerama, membaca shonen Jump, bermain monopoli, dan melakukan hal pengisi waktu lainnya. Lelaki berambut ikal itu meletakkan bukunya di mejanya yang berada di pojok kelas, dekat rak susun 3 tingkat, tempat para siswa meletakkan buku belajar mereka. Ia pun membereskan buku-buku yang ada meja, memasukkannya ke tas. Lalu ia berlaku tanpa mempedulikan tiap tatapan yang dilemparkan padanya.

Waktu berlalu. Tak ada yang tahu pasti nasib manusia. pun lelaki berambut ikal itu. Dahulu ia suka membaca buku. Zaman berubah, kini tulisan, kisah, frasa, tak hanya dijumpai pada buku-buku. Mereka bertebaran dalam alur biner yang muncul dalam aneka tempat dan rupa. Kini, ia pun tak lagi membaca buku. Entah buku apa yang terakhir ia baca. kisah apa itu? ia tak lagi ingat.

Menu berita mancanegara, genosida yang nun terjadi di negeri sana, selalu ia ikuti perkembangannya. Ia membaca. Berita artis nasional yang dilanda masalah rumah tangga, ia pun mengikutinya. Ia membaca. Politikus yang terjungkal kasus korupsi, ia bahas juga. Ia membaca.

Suatu kadang, ia tetap rindu dengan aroma kertas yang menguar ketika buku lama disimpan lalu dibuka lagi. Sebab itu ia masih menyimpan beberapa buku yang menurutnya menarik. Komik, novel, atau apalah. Kini, ia nyaris tak memiliki waktu untuk sekadar menamatkan kisah 300 halaman. yang dulunya bisa ia selesaikan segera untuk lanjut menemukan kisah lain yang lebih menarik.

Apakah zaman memang tak semenarik ini? ataukah, pikiran yang mulai usang termakan banyak retorika. terfermentasi realita, membusuk bersama waktu. Nyaris tak dapat dipercaya. Lelaki itu masih saja berharap menikmati udara sejuk pagi hari di tengah kota yang tak terlelap. Kehidupan apa yang ia damba? adakah tujuan yang ia tuju?

Waktu menempa lelaki itu, rambutnya masih saja ikal. Entah apa yang merasukinya, ia menggendong tas besar yang berat. Berisikan kantung tidur, baju ganti, perbekalan, jaket hangat, jas hujan dan air minum. Langkahnya tertatih, meniti terjalnya setapak itu sedikit demi sedikit. Ia dalam kawanan, namun ada pada barisan belakang. Ia sangat tahu, tak ada yang bisa disombongkan saat ini. Peluh membasahi topinya, bajunya juga basah. Pengap hutan membuat siang itu seolah sauna tak berujung. Rapatnya vegetasi tak mengizinkan angin lewat, meski hanya semilir diantara pepohonan.

setapak
@dunia.popo

Dari tengah lembah, ia melihat sekelilinganya. Bagai mandala, mengitari semesta. Ia masih mencoba mengatur napas yang tersengal, sambil terus tak henti mengagumi apa yang dilihatnya. Sunyi. Hanya napasnya yang terdengar.

@dunia.popo
Nun di ufuk, sinar keemasan menyeruak diantara pekatnya awan. Menyisakan berkas sinar panjang kuning - merah di langit. Ia menatapnya, tak memperdulikan kawanannya memanggilnya. Ia berjalan sekehendak hatinya di lembah itu. Lembah yang dahulu ia dengar namanya. Lembah yang dahulu ia dapati dalam cerita. Lembah yang ia dapati dari syair lagu. MANDALAWANGI, MANDALA SUNYI. (@dunia.popo)

Comments

Popular Posts