Pesan Dariku Untukku
Cerita ini adalah sebuah adaptasi cerpen dari komik strip karya @gambarnana
#komik10tahun . Karena saya kurang cakap menggambar komik, jadinya saya coba adaptasi ke cerita pendek.
***
Hari ini, seharusnya aku sekolah seperti biasa. Tapi pagi
ini seisi rumah sibuk dengan seseorang yang tergeletak di halaman rumah. Dia,
seorang laki-laki dewasa. Aku memandanginya penasaran. Rasanya, dia mirip
denganku. Tapi apa mungkin?
Bunga ini tumbuh di pantai. Foto ini diambil ketika liputan di Pulau Seribu. |
“Zaa. Ayo berangkat,” Mama memanggilku dari atas motornya.
Segera aku mengendong tas kotak bergambar lucu yang semalam
baru dibelikan papa untukku. Aku berangkat. Dan jelas, aku terlambat.
Orang tadi masih belum siuman juga. Sepertinya dia pingsan,
entah kenapa dia bisa pingsan di halaman rumah kami. Dia memakai kaos biru
dengan pohon yang aneh. Aku tidak terlalu ingat bagaimana pohonnya.
Hari itu, berjalan biasa saja. Mama menjemputku jam 4 sore
seperti biasa. Sesampainya di rumah, aku bereskan barang-barangku di kamar dan
segera mandi. Lalu aku duduk-duduk di ruang tamu sambil memainkan kartu-kartu potongan
poster dragon ball yang kemarin ku beli.
“Za,” ada suara memanggilku dari samping.
Aku ingat, orang itu masih di rumah. Dia sudah siuman, tadi
aku melihatnya sedang termenung di bawah pohon di halaman rumah. Sekarang dia
ada desebelahku.
“Iya om,” jawabku sambil menoleh ke arahnya.
“Besok, kalau sudah besar. Mau jadi apa?” tanyanya sambil
menatapku.
Hmm.... pertanyaan yang membosankan. Jawab apa ya? “Polisi,”
celetukku. “Sudah kuduga,” jawabnya cepat.
Hahaaha.... kami tertawa bersama-sama. Entah mengapa ini rasanya
lucu.
“Kau tau. Dunia ini luas, Za. Oiya, masih suka neriakin
pesawat? Minta duit woy... minta duit,” orang itu tahu salah satu keisenganku
ternyata. Siapa orang ini?
“Mmm... masih om. Hhehee...”
“Hahaaa... besok. Kau akan tahu rasanya, terbang tinggi
menaikinya. Ya, kamu akan tahu rasanya,” lanjut dia sambil masih menatapku.
Aku takjub dengan perkataannya. Apa iya aku akan menaikinya?
Semoga saja.
Ketika aku menatapnya lekat-lekat, seolah-olah aku sedang
melihat diriku versi dewasa. Apa memang orang ini adalah aku dari masa depan?
“Nama om siapa?” tanyaku kemudian.
Orang itu tersenyum, dia akan mengatakan namanya. Tapi tiba-tiba Mama memanggil.
“Zaaa... handukmu jangan lupa dijemur,” kami menoleh ke arah
yang sama dan bertatapan lalu kami tertawa lagi. Aku menjemur handukku dan
menghampiri orang itu yang kini duduk di teras.
“Om, belum jawab pertanyaanku tadi,” ujarku sambil bersandar
di tiang teras, tepat di seberang orang itu duduk.
“Gimana ya? Mungkin kamu tidak akan percaya apa yang om
katakan. Tapi itu terserah kamu mau percaya atau tidak,”.
Aku hanya mengangguk dan menanti kelanjutan ucapannya.
“Aku Reza. Percaya atau tidak, aku adalah kamu dari masa
depan,”.
Aku tak percaya. Orang ini pasti ngelantur. Tapi, wajah kami
memang mirip. “Apa buktinya kalau om memang aku dari masa depan?”
“Apa ya? Masih kesel di pindah ke kelas A?”
Orang ini, dia tahu kalau aku masih kesel saat di pindah
dari kelas B ke kelas A. Sepertinya memang kami adalah orang yang sama dari
waktu yang berbeda.
“Ma. Masih,” jawabku sambil membenarkan posisi dudukku di
lantai.
“Za, sebentar lagi kamu akan masuk asrama. Baik-baik di
asrama. Jangan jadi anak yang sombong ya,” aku mengangguk.
“Ingat, sepertinya jadi polisi adalah hal mustahil buat kita.
Hahaaa,” kami tertawa lagi.
“Aku adalah seorang wartawan dan videografer,” aku tak
percaya kalau diriku di masa depan akan menjadi seorang wartawan.
“Banyak hal terjadi di masa depan. Nikmati saja semuanya. Ya,
nikmati saja. Saranku, mulai menulislah. Tulis apa pun yang ingin kamu tulis. Dan
tolong, jangan buat mama menangis ya. Sakit rasanya,” aku dari masa depan
tiba-tiba terisak. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku diam.
“Akan ada banyak hal yang kau lalui. Menurutku, kita sudah
melaluinya dengan baik. Sayangi adik-adikmu, kakakmu dan tentu mama papa. Ingat,
jangan sampai buat mama menangis sedih ya,”.
Entah kenapa sekarang aku yang menangis. Aku memang bandel. Sering
membuat mama papa marah. Aku menyeka air mataku. Dan aku tersadar, dia sudah
tidak ada di depanku. Tidak ada di dalam rumah. Tidak ada di mana-mana.
“Terima kasih," ucapku lirih sambil menangis.
Comments
Post a Comment