Mandi Matahari
Siang itu.
Beberapa saat lalu saya dan teman saya yang sedang baik hati, mengajak saya berkeliling kandang layer (ayam petelur) yang merupakan customer-nya. Memang, saya sendiri tidak kepikiran akan sering jalan bersama dia. Pasalnya, ketika di kampus, kami hanya junior - senior. Dan dia, lulus ketika saya mulai mengemban bangku kuliah. Pertemuan saya yang sebentar dengan dia memang cukup membekas. Lewat takdirlah kami bertemu lagi di Ibukota. Daerah yang sama sekali jauh dari angan-angan saya ketika kuliah. Biasa mungkin bagi orang seperti saya untuk memiliki pikiran akan menikmati hidup dan bekerja di sebuah kota (tapi bukan Ibukota).
Deretan takdir itu membawa saya pada suatu ketertarikan yang tidak biasa pada makhluk yang disebut Kerbau dalam bahasa Indonesia, Kebo dalam Baha jawa, Buffalo dalam bahasa Inggris itu. Entah kenapa, saya terus terngiang dengan judul cerpen salah satu penulis ternama Indonesia yang sempat saya baca, "Bertanya Kerbau Pada Pedati". Ya judul cerpen itu begitu membekas di benak saya. Masih ingat juga salah satu bagian cerita yang berkisah tentang kerbau yang matanya telah memerah, membawa beban yang amat berat sehingga ia pun meronta dan berhasil lolos dari derita hidupnya. (Setelah saya googling, pengarangnya adalah A.A Navis).
Seingat saya, buku itu saya baca ketika masih duduk di bangku SMA. Masih seneng-senengnya mengunjungi perpustakaan daerah hanya untuk baca dan meminjam novel. Meski koleksi bukunya hanya bertambah beberapa buku saja saban tahunnya. Tapi memang jadi sebuah hal yang ketika kuliah sampai sekarang amat sangat saya rindu. Kecintaan pada sastra yang rasanya belum bisa tertebus tuntas.
Kembali lagi ketika kami (saya dan teman saya) beranjak dari satu ke kandang ke kandang lainnya. Kami membelah perkampungan dan melewati satu areal persawahan. Tampak biasa awalnya, namun ada yang tak biasa di sana yang membuat mata saya terbelalak. Tiga kerbau albino sedang bermandi matahari di sebuah sudut sawah. Sontak saya meminta rekan saya itu untuk menghentikan laju mobil dan menepi. Kamera sudah saya pak rapi dalam tasnya, terpaksa saya keluarkan lagi demi mengabadikan tingkah kerbau-kerbau itu untuk anda nikmati di sini.
Hari itu, kami lanjutkan perjalanan menuju customer yang berikutnya. Sungguh hari yang menyenangkan dan melelahkan. Kapan lagi bisa bertemu dengan kerbau-kerbau itu, hati saya selalu bertanya. (Re)
Beberapa saat lalu saya dan teman saya yang sedang baik hati, mengajak saya berkeliling kandang layer (ayam petelur) yang merupakan customer-nya. Memang, saya sendiri tidak kepikiran akan sering jalan bersama dia. Pasalnya, ketika di kampus, kami hanya junior - senior. Dan dia, lulus ketika saya mulai mengemban bangku kuliah. Pertemuan saya yang sebentar dengan dia memang cukup membekas. Lewat takdirlah kami bertemu lagi di Ibukota. Daerah yang sama sekali jauh dari angan-angan saya ketika kuliah. Biasa mungkin bagi orang seperti saya untuk memiliki pikiran akan menikmati hidup dan bekerja di sebuah kota (tapi bukan Ibukota).
Deretan takdir itu membawa saya pada suatu ketertarikan yang tidak biasa pada makhluk yang disebut Kerbau dalam bahasa Indonesia, Kebo dalam Baha jawa, Buffalo dalam bahasa Inggris itu. Entah kenapa, saya terus terngiang dengan judul cerpen salah satu penulis ternama Indonesia yang sempat saya baca, "Bertanya Kerbau Pada Pedati". Ya judul cerpen itu begitu membekas di benak saya. Masih ingat juga salah satu bagian cerita yang berkisah tentang kerbau yang matanya telah memerah, membawa beban yang amat berat sehingga ia pun meronta dan berhasil lolos dari derita hidupnya. (Setelah saya googling, pengarangnya adalah A.A Navis).
Seingat saya, buku itu saya baca ketika masih duduk di bangku SMA. Masih seneng-senengnya mengunjungi perpustakaan daerah hanya untuk baca dan meminjam novel. Meski koleksi bukunya hanya bertambah beberapa buku saja saban tahunnya. Tapi memang jadi sebuah hal yang ketika kuliah sampai sekarang amat sangat saya rindu. Kecintaan pada sastra yang rasanya belum bisa tertebus tuntas.
Kembali lagi ketika kami (saya dan teman saya) beranjak dari satu ke kandang ke kandang lainnya. Kami membelah perkampungan dan melewati satu areal persawahan. Tampak biasa awalnya, namun ada yang tak biasa di sana yang membuat mata saya terbelalak. Tiga kerbau albino sedang bermandi matahari di sebuah sudut sawah. Sontak saya meminta rekan saya itu untuk menghentikan laju mobil dan menepi. Kamera sudah saya pak rapi dalam tasnya, terpaksa saya keluarkan lagi demi mengabadikan tingkah kerbau-kerbau itu untuk anda nikmati di sini.
Hiruk pikuk jalanan sudah tak lagi ia hiraukan. Waktunya berkubang dan menikmati rumput-rumput pematang sawah. |