Dari Kandang
Sejatinya
banyak yang tidak begitu peduli dari mana ayam yang kita makan hampir
setiap hari berasal. Yang kita tahu, ayam sudah tersaji di meja makan
lengkap dengan nasi hangat yang mengepul dan kita pun menikmatinya
hingga ludes tak kurang dari 15 menit saja. Inilah realitanya.
Pada kesempatan liputan ke Ciamis Februari lalu, saya melihat sendiri bagaimana ayam-ayam yang tersaji pada meja makan kita diproduksi. Seperti itulah, bangunan kotak yang tampak tak ada nilai artistik-nya disebut kandang, berdiri kokoh. Berisikan setidaknya 1.500 ekor ayam kampung yang tengah dalam masa produksi. (saya tidak tahu berapa usia pastinya)
Saya memberanikan diri untuk masuk ke dalam, melihat ayam-ayam itu beraktivitas dalam kandang. Masih membutuhkan waktu sekitar 30 hari lagi untuk bisa memanen ayam-ayam tersebut dan menjualnya ke pasar-pasar tradisional baik di Ciamis sendiri maupun di Ibukota. Karena memang pasar utama unggas yang diproduksi di sana adalah Jakarta.
Pemeliharaannya telah intensif, artinya ayam kampung diternakkan dalam satu koloni besar dan diberikan pakan terstandar dengan tujuan penggemukan. Untuk menghasilkan ayam kampung berukuran 1 kg hidup memerlukan waktu lebih dari 30 hari. Rata-rata usia panen untuk ayam kampung yang dipelihara intensif dalam kandang adalah 60 hari atau 2 bulan, dihitung semenjak masuk kandang pada usia 1 hari menetas. Bahkan bisa lebih dari itu.
Bukan waktu yang sebentar memang, dan selama pemeliharaan biaya yang dikeluarkan untuk pakan, minum, obat dan vaksin, serta tenaga cukup besar. Tak heran jika ayam kampung memang cenderung mahal di pasaran. Mengingat peminat ayam ini juga berasal dari kalangan ekonomi kelas menengah - atas.
Foto di atas diambil dalam kandang ayam buras (bukan ras) milik SMK Industri Perunggasan Panjalu (IPP) yang berada di Ciamis. SMK IPP dikelola secara mandiri oleh Yayasan Nurul Huda Sindangmukti. Jika anda ingin ke Ciamis, mampirlah ke Panjalu dan lihatlah para peternak rakyat yang tersisa dan masih berjuang untuk bangkit kembali.
(Re)
Pada kesempatan liputan ke Ciamis Februari lalu, saya melihat sendiri bagaimana ayam-ayam yang tersaji pada meja makan kita diproduksi. Seperti itulah, bangunan kotak yang tampak tak ada nilai artistik-nya disebut kandang, berdiri kokoh. Berisikan setidaknya 1.500 ekor ayam kampung yang tengah dalam masa produksi. (saya tidak tahu berapa usia pastinya)
Saya memberanikan diri untuk masuk ke dalam, melihat ayam-ayam itu beraktivitas dalam kandang. Masih membutuhkan waktu sekitar 30 hari lagi untuk bisa memanen ayam-ayam tersebut dan menjualnya ke pasar-pasar tradisional baik di Ciamis sendiri maupun di Ibukota. Karena memang pasar utama unggas yang diproduksi di sana adalah Jakarta.
Pemeliharaannya telah intensif, artinya ayam kampung diternakkan dalam satu koloni besar dan diberikan pakan terstandar dengan tujuan penggemukan. Untuk menghasilkan ayam kampung berukuran 1 kg hidup memerlukan waktu lebih dari 30 hari. Rata-rata usia panen untuk ayam kampung yang dipelihara intensif dalam kandang adalah 60 hari atau 2 bulan, dihitung semenjak masuk kandang pada usia 1 hari menetas. Bahkan bisa lebih dari itu.
Bukan waktu yang sebentar memang, dan selama pemeliharaan biaya yang dikeluarkan untuk pakan, minum, obat dan vaksin, serta tenaga cukup besar. Tak heran jika ayam kampung memang cenderung mahal di pasaran. Mengingat peminat ayam ini juga berasal dari kalangan ekonomi kelas menengah - atas.
Foto di atas diambil dalam kandang ayam buras (bukan ras) milik SMK Industri Perunggasan Panjalu (IPP) yang berada di Ciamis. SMK IPP dikelola secara mandiri oleh Yayasan Nurul Huda Sindangmukti. Jika anda ingin ke Ciamis, mampirlah ke Panjalu dan lihatlah para peternak rakyat yang tersisa dan masih berjuang untuk bangkit kembali.
(Re)